Sessi II/ Pagi
Bahan Renungan
“Dialog Kehidupan di Tengah Semesta”
Konstitusi 715 Dialog Kehidupan – Persaudaraan Universal
“Kita membangun persaudaraan semesta terdorong oleh kepercayaan akan Allah yang berinkarnasi dalam Kristus Yesus. Melalui misteri inkarnasi itu, Allah berdialog secara langsung dengan manusia. Berakar kuat pada kesadaran ini, kita hendaknya melakukan dialog kehidupan dengan masyarakat majemuk di sekitar kita dengan mempelajari, mengenal, mengunjungi, ikut serta dalam kegiatan di lingkungan sekitar, pertukaran wawasan, dan terlibat aktif dalam keprihatinan masyarakat. Sebagai komunitas religius, hendaknya kita membangun kerja sama dengan religius yang lain dan mengembangkan Gereja lokal. Dan sebagai bagian persaudaraan semesta, kita hendaknya mendengarkan dan menanggapi jeritan ibu bumi dengan terlibat dalam upaya-upaya penyelamatan lingkungan hidup.”
Renungan
Para saudari ytk, secara teologis, dialog berakar dan bersumber pada misteri iman Kristiani, yaitu Misteri Inkarnasi. Allah secara definitif telah berdialog dengan manusia lewat Sang Sabda yang menjelma menjadi manusia dalam diri Yesus Kristus (Yoh. 1:14). Seluruh hidup Yesus: sikap, perbuatan, ajaran-ajaran-Nya, kelahiran, karya, sengsara, salib, wafat serta kebangkitan-Nya adalah suatu dialog nyata dari pihak Allah kepada manusia.
Kita sebagai umat Kristiani, lebih lagi sebagai penghayat spiritualitas FCh, dipanggil untuk mengambil bagian dalam meneruskan “dialog” yang telah diprakarsai Allah ini. Ini merupakan suatu tanggungjawab iman karena panggilan adalah sebuah tugas. Dengan kata lain dari kita dituntut agar sikap, kata, dan perbuatan kita menjadi suatu dialog dan tawaran rahmat dan kebenaran Allah bagi orang lain.
Hidup kita dalam komunitas adalah cerminan hidup yang dialogis. Hidup persaudaraan dalam komunitas dengan beragam perbedaan menjadi simbol sekaligus tanda kesatuan, bahwa hidup dalam kedamaian bersama dan dialog itu mungkin walau pun hidup dalam perbedaan.
“Sesungguhnya cintakasih kristiani ditujukan kepada semua orang tanpa membeda- bedakan suku-bangsa, keadaan sosial atau agama; cinta kasih tidak mengharapkan
keuntungan atau ungkapan terima kasih. Sebab seperti Allah telah mengasihi kita dengan cinta yang sukarela, begitu pula hendaknya kaum beriman dengan kasih mereka memperhatikan sepenuhnya manusia sendiri, dalam gerak yang sama seperti Allah mencari manusia” (AG 12).
Dalam berdialog kita berhadapan dengan “subjek”, bukan “objek”. Itu berarti bahwa partner (mitra) dialog kita adalah sama dan sederajat dengan kita. Setiap patner dialog selalu diandaikan mempunyai kelebihan dan kekayaan tertentu yang bisa jadi tidak atau belum kita miliki. Karena itu dalam dialog, di samping kita “memberi”, kita juga siap membuka diri untuk menerima suatu kekayaan baru.
Dalam praktik hidup, membangun dialog baik dalam komunitas maupun bermasyarakat, ada dua tantangan besar yang mesti kita hadapi. Tantangan pertama adalah, diri kita sendiri. Dalam diri kita tantangannya ialah rasa sombong, rasa ragu-ragu, rasa benci, iri, rasa penolakan, atau rasa superioritas, bahkan juga rasa minder, tidak percaya diri. Sedangkan tantangan kedua adalah tantangan dari luar. Sikap acuh tak acuh, arogan, tidak jujur, tidak adil, tidak sopan, bahkan munafik, baik dari pribadi maupun kelompok yang lebih besar atau mayoritas, sering kali menutup kesempatan berdialog dan mengendurkan kemampuan manusia untuk membangun hubungan yang harmonis.
Dengan niat, komitmen, kemampuan dan sarana yang kita miliki, kita dapat mengupayakan kelangsungan dialog di tengah komunitas dan masyarakat di sekitar kita. Usaha-usaha sederhana yang bisa kita lakukan, misalnya: menyediakan sarana peribadatan bagi penganut agama Non-Kristen (jika dibutuhkan), silaturahmi atau kunjungan hari raya, menghadiri pertemuan-pertemuan RT/RW, maupun ikut serta dan terlibat aktif dalam forum-forum dialog antar-umat beragama. Kita juga dapat melakukan tindakan konkret seperti mengunjungi orang-orang sakit maupun lansia atau orang-orang yang sedang berkesusahan yang ada di sekitar komunitas kita. Kita hadir untuk mereka. Juga sangat mungkin kita dengan ketrampilan dan sarana yang ada, membuka komunitas-komunitas ketrampilan yang memberdayakan dan membantu masyarakat miskin di sekitar kita.
Dialog yang kita wartakan di tengah masyarakat dalam perutusan kita, menjadi tidak seimbang apabila kita tidak memulai membangun dialog dengan diri kita sendiri, dengan sesama se-komunitas di mana kita tinggal, dan sangat penting, dialog dengan Sang Pemberi Kehidupan. Muder Theresia Saelmaekers dan para suster pendahulu kita telah menjadi “pelaku-pelaku” dialog. Karya-karya yang mereka rintis diterima oleh masyarakat sekitar, menyentuh kebutuhan masyarakat dan bahkan dibutuhkan dunia. Mereka mengembangkan sikap “duduk bersama” dalam keputusan-keputusan penting, menyangkut karya dan hidup bersama. Karya-karya yang mereka rintis berkembang dan melayani banyak orang. Mereka memulai dialog dengan berdamai dengan Allah dan berdamai dengan semua orang bahkan alam semesta di mana mereka tinggal. Dan lagi, mereka “berdialog” dengan kehidupan dalam terang Roh Kudus sebagai Sang Pelaku Dialog yang utama. Lalu bagaimana dengan kita sekarang? Apakah kita masih meneruskan “dialog kehidupan” yang telah dimulai oleh para suster pendahulu kita?
PR Perwujudan Konkret
Menjalin relasi dengan siapapun yang kita jumpai dengan mengembangkan dialog yang mengedepankan sikap saling mengormati dan menghargai. Melibatkan Roh Kudus, Sang Pelaku Dialog yang utama, ketika berdialog dengan sesama saudari di komunitas maupun dengan rekan kerja kita serta semua yang kita jumpai, sehingga kita dapat menjalin relasi yang melahirkan damai.
Refleksi
1. Apakah aku sebagai religius menyadari dengan sungguh bahwa melalui dialogku dengan siapa pun, aku sedang diberi tugas menghantar sesamaku mengalami kasih Allah?
2. Apakah aku mengunakan kesempatan, atau waktu luangku untuk bergaul dan berbagi kegembiraan dengan orang sakit, lansia, umat lingkungan atau terlibat di paroki maupun di tengah masyarakat?
3. Apa yang telah kubuat sebagai wujud cinta kasih di tengah persaudaraan di komunitasku, terutama ketika aku menyadari bahwa kita masing-masing memiliki keunikan, kerapuhan dan kelebihan yang dapat membangun persaudaraan namun sekaligus dapat melukai satu sama lain?
4. Sebagai komunitas, apa yang telah kita lakukan untuk menanggapi jeritan ibu bumi dan penyelamatan lingkungan hidup?
Tinggalkan Balasan