Tegalsari BK. XXI OKU TIMUR. Belitang SUM-SEL
Komunitas Tegalsari terletak 30 kilometer dari Rumah Sakit Panti Bhaktiningsih Gumawang, Belitang. Karya di Tegalsari dimulai pada tahun 1971 yakni pelayanan Rumah Bersalin (RB)/Balai Pengobatan (BP) dan Pastoral Parokial. Namun pelayanan rumah bersalin dan balai pengobatan akhirnya ditutup dan dibuka karya baru yakni karya pendidikan (Sekolah TK dan kursus Bahasa Inggris untuk anak-anak).
Perubahan karya ini terjadi setelah ada dialog antara Bapa Uskup Agung Palembang yakni Mgr. Aloysius Sudarso SCJ, Romo Paroki Tegalsari (Rm. Titus Purbo Saputro, SCJ), Kepala Desa dan masyarakat setempat, dan Dewan Pimpinan Umum Kongregasi FCh. Beberapa pertimbangan yang melatarbelakangi antara lain :
- Pasien yang dilayani terlalu sedikit sebab banyak pasien yang berobat pada bidan desa yang membuka praktik di sekitar BP dan RB Tegalsari.
- Jumlah bidan desa yang membuka praktik pribadi cukup banyak. Sedangkan karya pendididkan TK dipilih sebagai alternative karya yang lain karena memiliki alasan sebagai berikut:
- Sekolah TK yang sudah ada hanya menempati garansi pastoran lama, maka perlu ditingkatkan dengan fasilitas yang lebih memadai. Karya ini tetap dipertahankan sebab banyak keluarga muda memiliki anak-anak usia dini yang membutuhkan pelayanan pendidikan yang bermutu.
- Dunia yang maju dan berkembang membuka wawasan orang tua murid untuk memperkenalkan dan membekali anak-anak mereka keterampilan Bahasa Inggris, pada awal pembukaan sekolah TK, namun beberapa tahun ini tidak aktif lagi karena keterbatasan SDM. Kursus Bahasa Inggris sebenarnya merupakan kerinduan orang tua murid yang ditanggapi oleh Kongregasi dengan membuka kursus Bahasa Inggris untuk anak-anak TK dan SD.
Tepat pada tahun ajaran 2011/2012 dibuka local TK kelompok A dan B dengan merenovasi dan melengkapi bangunan Balai Pengobatan dengan melengkapi fasilitas Taman Kanak-kanak. Dan untuk kursus Bahasa Inggris pada waktu itu, dibuka untuk umum dari berbagai sekolah. Ada tiga kelompok usia dalam kursus ini yakni TK, SD kelas 2-3, SD kelas 4-5. Sebagai Koordinator karya pendidikan tersebut adalah Sr. M. Pietronella FCh.
Sebagai Pelindung Komunitas adalah St. Elisabet Hongaria, beliau lahir di Pressbura /Bratislava, Hongaria, Andreas II. Ibunya bernama Gertrude dari Andechs Meran. Pada tahun 1221, dalam usia 14 tahun, Elisabeth menikah dengan Ludovikus IV, putra pangeran Herman I dari Thuringen, Jerman Barat. Mereka dikaruniai tiga anak, perkawinan ini berakhir pada tahun 1227 karena Ludovikus meninggal dunia akhibat penyakit pes saat mengikuti Perang Salib di Tanah Suci. Selagi ia hidup dengan suaminya, Elisabeth tetap hidup sederhana. Ia mendermakan uang, makanan dan pakaian kepada fakir miskin. Hal ini tidak disukai oleh kalangan istana. Mereka menuduh Elisabeth memboroskan harta suaminya. Suatu hari, ia dipergoki ketika ia keluar membawa sebuah keranjang berisi roti. Saat ditanya Elisabeth agak takut, tetapi dengan serta-merta ia menjawab, bahwa yang dibawanya adalah bunga mawar. Suaminya tak percaya dan menggeledah keranjang itu. Ternyata betul keranjangnya berisi bunga mawar yang masih segar. Tuhan kiranya membuat mujizat untuk menyelamatkan hambanya. Sejak itu, Ludovikus semakin menyayangi Elisabeth dan hidup rukun dengannya.
Akan tetapi sepeninggal Ludovikus kegiatan Elisabeth semakin menambah kebencian anggota keluarga istana padanya. Ia diusir dari istana tanpa membawa apa-apa, kecuali tiga anaknya. Ketiga anaknya itu kemudian dititipkan pada seorang sahabatnya. Dan ia sendiri masuk Ordo III awam Fransiskus. Ia aktif melayani orang-orang miskin dan anak yatim piatu. Ia juga peduli dengan orang-orang yang sakit. Kemudian hari dengan berkat Allah ia mendirikan sebuah rumah sakit untuk melayani orang-orang sakit. Elisabeth wafat di Marburg ,Jerman pada tanggal 17 November 1231 dalam usia 24 tahun. Ia dinyatakan sebagai orang kudus, pelindung Ordo III, pada tahun 1235. Gereja memperingati pestanya pada tanggal 17 November.
Santa Elisabeth setia dengan panggilan jiwanya yakni peduli dengan kaum miskin dan orang-orang yang berkekurangan. Karena cara hidup yang ia pilih ini, ia diusir dari kerajaan. Ia harus meninggalkan kemapanan, kenyamanan, dan seluruh fasilitas yang membuatnya “terhormat” yang ada di istana, inilah konsekuensi sebuah pilihan hidup. Santa Elisabeth setia dengan panggilanNya dengan resiko yang mesti diterimanya.
Karya kesehatan di Tegalsari pada mulanya dibuka untuk meringankan masyarakat yang tidak mampu berobat ke Rumah Sakit Gumawang. Namun karya BP dan RB ini akhirnya ditutup karena masyarakat mandapatkan pelayanan kesehatan dari bidan-bidan desa yang mandiri dan dapat memenuhi kebutuhan kesehatan masyarakat. Meskipun demikian, Gereja tetap membutuhkan kehadiran para Suster FCh. Maka karya pendidikan untuk usia dini menjadi pilihan karya untuk menjawab kebutuhan masyarakat.
Injil tetap diwartakan walaupun karya berubah. Seperti St. Elisabeth yang tidak lekat pada kemapanan, semoga perubahan karya ini juga menjadi wujud ketidak lekatan kita pada kemapanan dan terbuka akan realitas dan kebutuhan masyarakat. Semoga semangat St. Elisabeth yang berpihak pada kaum miskin tetap menjadi jiwa pelayanan yang tidak pernah pudar walaupun zaman berubah.
Tinggalkan Balasan