RENUNGAN AKHIR TAHUN 31 DESEMBER 2021 (Sr. M. Henrika FCh)

KONGREGASI SUSTER

SANTO FRANSISKUS CHARITAS

Para saudari yang terkasih, semoga Tuhan menganugerahkan damai dan sukacita bagi kita semua.

Sukacita Muder Theresia Saelmaekers

Para saudari yang terkasih, sepanjang tahun ini Kongregasi mengajak kita semua untuk mendalami hidup penuh sukacita sebagaimana diteladankan oleh Ibu pendiri kita Theresia Saelmaekers. Beliau merupakan pribadi yang sungguh-sungguh dipenuhi dengan sukacita dalam seluruh perjalanan hidupnya.

Sukacita itu dialaminya sendiri berkat relasi yang intim dengan Sang Mempelai ilahinya, yakni Tuhan Yesus Kristus. Sukacita karena Tuhan itulah yang menjadi perlindungan kita (lih. Nehemia 8 : 11b). Relasinya yang kuat dan “ajeg” itu membuahkan sukacita yang berlimpah. Perjumpaan yang mendalam dan terus menerus dengan Tuhan akan menghasilkan sukacita seperti aliran-aliran air di tempat kering (Yes 32 : 2)

Sukacita yang merajai seluruh pribadinya, terus meluap dari dalam hatinya dan tak kuasa menahannya. Sukacita Ibu Theresia terus mengalir dalam pelayanan sehari-hari terutama bagi orang miskin dan yang membutuhkan pertolongan. Ibu Theresia Saelmaekers tidak pernah surut sukacitanya, sekalipun mengalami banyak tantangan dan duka derita dalam melayani orang-orang sakit yang dipercayakan kepadanya.

Sukacita para Suster misionaris perdana di bumi Sriwijaya

Semangat sukacita itu juga diwarisi oleh para suster pendahulu kita, kelima misionaris pertama yang datang bermisis di bumi Sriwijaya. Mereka hadir dalam penyerahan diri total untuk melayani masyarakat bangsa kita yang masih terbelakang dalam berbagai hal, pada saat itu.

Para suster misionaris dihadapkan banyak tantangan, kendala, antara lain fasilitas hidup yang serba terbatas. Bahasa dan budaya yang tidak mudah dipelajari dan dipahami. Mereka juga harus melayani masyarakat kita dengan keluar masuk kampong mengendarai sepeda, melalui jalan-jalan setapak yang sulit. Mereka sering mendapat hinaan, cemoohan, juga mengalami pedih perihnya sebagai tahanan perang, dipenjara, disiksa.

Namun demikian, mereka menjalani semuanya itu dengan tekun dan setia. Mereka  terus berusaha menguatkan hatinya dengan semakin sungguh bertelut di hadapan Tuhan yang memanggilnya. Mereka belajar dari pada-Nya bagaimana memikul salib demi keselamatan umat manusia yang dilayaninya. Mereka terus sujud berdoa mohon kekuatan dan daya tahan dalam menghadapi semua peristiwa dengan tegar dan sukacita.

Generasi Penerus

Sekarang mari kita sebagai generasi penerus, sejenak pulang ke dalam diri, bertanya dalam hati, sudahkah aku memiliki sukacita sejati seperti para suster pendahulu? Bagaimana sikapku ketika mengalami masalah, tantangan, kesulitan, himpitan dalam hidup dan karya sehari-hari? Apakah aku tetap sukacita dan tetap tangguh?

Apakah aku semakin tekun bertelut dan berdoa menjalin relasi intim dengan Sang Mempelai kita? Atau….

Para saudari yang terkasih, tim spiritualitas Kongregasi telah menyiapkan materi-materi untuk rekoleksi, refleksi dan juga menyiapkan doa-doa untuk membantu kita agar semakin memiliki sukacita sebagaimana kita harapkan agar sukacita Tuhan ada dalam diri kita dan sukacita kita menjadi penuh. (lih. Yoh.15:11). Materi itu kita dalami sepanjang tahun. Sesaat lagi kita sampai di penghujung tahun. Harapannya kita sudah sungguh-sungguh menjadi pribadi seperti Ibu Theresia Saelmaekers, penuh sukacita.

Para Suster Muda, Merupakan Generasi Penerus Para Pioner – tampak gemgira dan sukacita

Realita yang kita hadapi

Para saudari yang terkasih, kita sadar bahwa kita semua menghendaki hidup penuh sukacita dan terbebas dari segala derita. Namun apa mau dikata, selama dua tahun terakhir, seluruh masyarakat dunia diliputi perasaan cemas, menyesakkan, dan bahkan sampai putus asa lantaran mendapat “anugerah” virus corona yang melanda begitu dahsyatnya, seakan tak terbendung oleh apapun usaha manusia.

Sesungguhnya, saat-saat sekarang ini, di mana dunia sedang dilanda pandemi Covid’19, kita dihadapkan pada sebuah realita yang menguji keluhuran martabat manusia. Mampukah kita menghalaunya? Mungkin mampu! Namun kenyataannya, sampai hari ini si covid belum mereda sepenuhnya.  Mereka terus bermutasi dari delta hingga omicron. Bahkan ulah sikecil Covid’19 membuat manusia hampir kehabisan daya.

Mereka mampu menakhlukkan manusia-manusia tanpa senjata. Mampu memporak-porandakaan ekonomi negara-negara, menumbangkan keangkuhan-keangkuhan kuasa sang pemimpin digdaya. Mereka seakan tidak segan dan tidak hormat kepada para cerdik cendekia, para alim ulama/pemimpin agama! Mereka tidak takut kepada orang-orang yang selalu dekat dengan Tuhan, para imam, biarawan-biarawati.

Mereka tidak memandang usia, kanak-kanak, remaja, dewasa, lansia, semua direbahkannya dengan cara-cara yang tidak kenal ampun. Dalam sekejap mereka yang tegap, sehat, kuat, dihantarkannya dalam tidur panjang ke alam seberang. Tidak peduli isak para ibu-bapa yang menagisi anak-anaknya, anak-anak menjerit lelah kehilangan orang tuanya, orang-orang menangisi saudari-saudaranya. Seperti petani  covid bersukacita atas panen raya dalam sesaat. Mereka bak penari lenggang-lenggok “merasuki” pribadi-pribadi tanpa kompromi hingga sasarannya tak bernyawa lagi.

Mereka yang telah tiada, diantar ke pembaringan terakhir dengan buru-buru, tanpa upacara pemakaman yang layak. Mereka menghentikan berbagai aktivitas manusia. Transportasi dibatasi dan mesti menepati berbagai aturan perjalanan. Ibadah-ibadah suci yang biasanya dilakukan dengan penuh khidmad di tempat-tempat ibadat, harus dibatasi dan mesti mematuhi protocol kesehatan yang sudah ditetapkan supaya selamat.

Tidak terkira unjuk kerja sang covid, virus halus tak tertangkap mata itu sangat menggentarkan. Ribuan religious imam, biarawan-biarawati, bahkan para Uskup tak terluput rebah menyerah pasrah  dan “dikembalikan “ ke dalam perut bumi dengan bergegas-gegas tanpa tata cara liturgi suci sebagaimana mestinya, tanpa diiringi lantunan puji-pujian dan doa dari keluarga maupun saudara dan sahabat kenalan mereka. 

Covid itu…juga sudah menyambangi kita dalam kongregasi ini, tidak kurang dari 60 suster sempat dikunjunginya bahkan tinggal bersarang untuk beberapa waktu lamanya. Kita sempat was-was dan cemas menghadapinya. Namun syukur kepada Tuhan yang senantiasa menjagai kita.

Melalui doa-doa, perawatan penuh kasih dari para dokter, perawat, dan para suster kita sendiri, covid terus dihalau dengan cara-cara simpatik dan tidak bermusuhan dengannya, maka akhirnya merekapun pergi meninggalkan para saudari yang terpapar dengan damai hingga akhirnya para saudari boleh terbebas dari bujuk rayunya. 

Sungguh ulah sang covid sangat melelahkan makhluk paling sempurna di dunia ini. Seluruh bangsa-bangsa dunia dari hari ke hari menyaksikan betapa tak terbendung amukan si covid “menidurkan” jutaan manusia, maka mulailah menyadari bahwa sesungguhnya kita sekallipun diproklamirkan sebagai ciptaan sempurna, tetaplah sebagai makhluk hina tak berdaya yang mestinya senantiasa terhubung dengan Yang Kuasa.

Gambar saat Peringatan Hari Lansia Yang Penuh Sukacita – Gembira

Jasa covid bagi kita

Apapun dan bagaimanaupn juga, covid makhluk halus itu, sekalipun memporakporandakan dunia, tetaplah menjadi berkat bagi kita umat beriman. Kehadirannya di muka bumi, “memaksa” manusia untuk menyadari bahwa dirinya sesungguhnya hanyalah makhluk lemah tak berdaya tanpa uluran tangan kuat kuasa-Nya.

Manusia menjadi sadar bahwa sehebat, sekaya, sepandai apapun tetap bergantung pada Dia. Manusia tetap membutuhkan sesamanya untuk saling menolong dan membantu. Dalam situasi seperti itu, orang harus salaing membantu sesamanya tanpa berpikir suku, agama, atau budayanya. Dalam hal ini covid menyadarkan bahwa kita umat manusia harus kembali kepada sikap luhurnya yakni bersaudara satu dengan yang lain dan saling mencintai.

Demikian juga bangsa-bangsa di dunia, digerakkan untuk saling menjadi saudara membantu menanggung derita bersama, meringankan beban dengan saling berbagi apa yang dimilikinya baik berupa harta-kekayaan, pikiran, waktu, tenaga, dan berbagai hal lainnya. Satu dengan yang lain saling mendoakan, meneguhkan, dan menguatkan.  Semua berjalan bersama dalam persekutuan, saling berpartisipasi dan mengemban misi bersama untuk keselamatan umat manusia sedunia (lih. Tema Sinode Universal).

Sikap kita sebagai orang pilihan dan kebesaran kasih Tuhan

Bagaimana kita sebagai orang-orang yang dipilih secara khusus sebagai mempelai-Nya? Sudahkan kita senantiasa terhubung/menjalin relasi intim dengan-Nya? Dia yang memanggil kita senantiasa setia pada janji-Nya(Tesalonika 5:24). Dia tidak pernah kecewa dengan kita apapun dan

bagaimanapun keadaan kita, bahkan dalam keadaan berdosapun Dia tetap mencintai kita. Kasih-Nya sungguh utuh tak terbagi untuk kita. 

Kasih Tuhan itu nyata dan dapat kita rasakan dalam peziarahan hidup kita sepanjang tahun ini. Hidup kita tentu diwarnai dengan berbagai peristiwa, suka dan duka. Ada di antara kita yang sakit, dan diberi kesembuhan. Ada yang bermasalah dan sudah terselesaikan, ada yang mendiamkan sesamanya dan sudah berdamai, ada yang kecewa dan marah namun sudah berbaikan kembali. Ada yang merayakan pesta, mengikuti penyegaran rohani, mengalami cuti di tengah keluarga, lulus  studi. Ada yang mengalami bencana/kecelakaan. Ada kelahiran baru dalam keluarga, namun juga ada anggota keluarga kita yang dipanggil Tuhan dan ada berbagai-bagai peristiwa lain yang tidak sanggup kita uraikan satu-persatu. Semua itu terjadi hanya karena kasih dan berkat Tuhan.

Para saudari terkasih, marilah di penghujung tahun ini kita bersama merunduk dan bertelut di hadapan-Nya. Kita mohon ampun atas segala sikap dan tindak kita yang sering kali tidak berkenan di hadapan-Nya dan dihadapan sesama kita. Kita tanggalkan hal-hal yang tidak baik di waktu lalu dan siap melakukan hal-hal baik di tahun yang akan kita jalani. Mari kita senantiasa bersyukur dan bersukacita karena Tuhan sungguh mencintai kita tanpa batas (Yohanes 3:16). Mari…terus berjuang untuk membangun relasi yang lebih intim dengan-Nya karena kita tahu hanya melalui Dia kita beroleh keselamatan.

Kita dengarkan sabda-Nya, kita baca pesan-pesan kasih-Nya yang termuat dalam Kitab Suci. Kita bersujud sembah kepada-Nya dalam adorasi. Kita santab tubuh dan darah-Nya yang mulia dalam perayaan ekaristi. Kita ikuti jejak-Nya dalam mewartakan kabar gembira, kita pikul salib-Nya dalam salib-salib kecil kita sepanjang perjalanan hidup dengan ikhlas dan sukacita. Kita sembah dan puji Dia dalam pendarasan doa-doa dan mazmur bersama hingga peziarahan hidup kita di dunia ini berakhir.

             

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

More Articles & Posts