2. Kemiskinan

Untuk mengikuti Yesus yang “menjadi miskin, sekalipun Ia kaya”, (lih 2 Kor 8:9), para suster memelihara kemiskinan sebagai unsur yang mendasari panggilan sebagai seorang fransiskan, dan menghayatinya dalam pengososngan diri, “menjadi hamba dan bawahan semua karena Allah” (bdk. 2 SurBerim 47), menghayati dengan tekun semangat “hidup tanpa milik” (lih. Konst. 112 & 604), “tidak melekat dan lepas bebas” (lih. Konst. 602), serta menampakkan sukacita hidup di tengah mereka yang paling kecil, miskin, terpinggirkan dan tidak mendapat perhatian.
Para suster mengikuti teladan Santo Fransiskus Assisi dan Muder Theresia Saelmaekers, memilih hidup dalam keadaan miskin, dengan melayani dan menampakkan sukacita hidupnya sendiri di tengah orang sakit dan miskin, serta mewujudkan semangat ber-belarasa-yang-tak-terbagi dan menciptakan keadilan yang merata (Konst. 605).
Seorang suster FCh menemukan kekecilannya sendiri dan ketergantungannya yang mutlak pada Allah, sumber segala yang baik, dan hidup sebagai “musafir dan perantau di dunia ini” (lih. AngBul VI:2; Konst. 600), suka damai, ramah, gembira, tenang, sederhana, dan rendah hati dalam mengemban tugas serta tanggung jawab, sekalipun sebagai pemimpin (bdk. Konst. 601).
Para suster belajar mengenal dirinya sendiri dan membagikan bakat-bakatnya dengan sesama yang lain dan berani mengurbankan diri seutuhnya demi cinta kasih akan saudari-saudari se-kongregasi.
Para suster memberi kesaksian di tengah dunia tentang Kristus yang miskin dan rendah dengan menghayati hidup yang benar-benar miskin dalam pengunaan barang-barang dan bekerja dengan “setia dan bakti” (lih. AngBul V: 1), dengan gembira, serta penuh syukur dan sukacita, karena mengetahui bahwa segala sesuatu adalah anugerah Allah.
Para suster seperti Santo Fransiskus Assisi dan Muder Theresia Saelmaekers, mewajibkan diri untuk bekerja terutama untuk membantu sesama manusia yang sakit dan miskin sebagai wujud kemiskinan sejati (Konst. 606).
Tinggalkan Balasan