SPIRITUALITAS FRANSISKAN

3.   Kedinaan

Lukisan Bonaventura Berlinghieri, Santo Francis membantu para penderita kusta (Gereja St. Croce Firense Italia)

Untuk mengikuti Yesus “yang telah merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati” (Flp 2: 8), para suster FCh mempertahankan kedinaan sebagai unsur hakiki panggilan khas mereka dan menghayatinya dengan setia dalam kesederhanaan, kelembutan, ketaatan dan sikap batin yang selalu menyadari akan “Fiat Maria”, “aku ini hamba Tuhan, terjadilah padaku menurut perkataanmu” (lih. Luk. 1: 38; Konst. 800).

Semangat kedinaan diwujudkan dalam kerelaan untuk saling “mencuci kaki” sebagai sesama yang berasal dari Allah yang sama (lih. Konst. 703), saling mendengarkan dan saling berdialog, memberitahukan apa yang dibutuhkannya, saling melayani dengan rendah hati dalam ketaatan timbal balik, dan berjalan bersama untuk menemukan bagaimana Allah memanggil mereka untuk  mewartakan belas kasih Allah dengan perkataan maupun perbuatan, disini dan sekarang.

4.   Pertobatan

Untuk mengikuti Kristus secara lebih dekat dan menepati Injil Suci dengan setia, para suster secara terus menerus menghayati hidup sebagai pentobat. Pertobatan menjadi salah satu pilar yang menopang hidup sebagai seorang FCh (Konst. 101).

Pertobatan mengandaikan adanya perubahan ke arah yang lebih baik, tidak hanya pengakuan segala dosa di hadapan Allah, namun ada tuntutan perubahan tingkah laku sesuai dengan kehendak Allah[1]. “Berbalik dari sikap lama ke sikap yang baru, dari yang jahat menjadi baik”, dan “menjauhkan diri dari segala kejahatan dan bertekun dalam hal baik”[2] serta “melakukan kehendak Allah seturut Sabda dan ajaran Yesus dalam kehidupan sehari-hari.”

Para suster melakukan pertobatan, dengan bertekun dalam perubahan total lahir dan batin[3] dengan penyesalan, pengakuan dan saling mengampuni (Konst. 703).

Seperti Santo Fransiskus Assisi, inisiatif pertobatan pertama-tama berasal dari Allah, “Tuhan sendiri menghantar aku” (Was 1-3). Para suster memohon rahmat Allah untuk memulai perto

batan dengan memandang dirinya rendah di hadapan-Nya, dan pada akhirnya ia mengimani Yesus secara radikal.

Para suster dipanggil untuk melakukan pertobatan sejati[4] dengan menumbuhkan sikap dasar pertobatan, yakni; (1) mengenal Allah, (2) menyembah Allah dan (3) mengabdi Allah.


[1] Bdk. AD Ordo III Reg. art. 13.

[2] AD Ordo III Reg. art. 2.

[3] Riwayat Hidup Fransiskus Assisi oleh Ketiga Temannya, terjemahan, pengantar dan catatan oleh Cletus Groenen OFM, Bab IV, no. 11.

[4] AngTBul 23: 7; AD Ordo III Reg. art. 2, “…dan untuk mengatakan kepada semua orang yang telah mengenal dan menyembah Engkau serta mengabdi kepada-Mu dalam pertobatan….”

Laman: 1 2 3 4 5 6

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

More Articles & Posts