
25 hari terasa begitu cepat berlalu bagi kami, namun penuh makna.
Puncak penyegaran kami akhiri dengan triduum. Pastor Okki Dwihatmanto OFM, menghantar kami masuk dalam permenungan dengan tiga pokok pendalaman; Semangat Kerendahan hati, damai, dan syukur. Orang yang sungguh-sungguh rendah hati adalah mereka yang selalu ingin menempatkan diri sebagai yang hina dan tidak pernah menyatakan diri sebagai yang rendah hati. Demikianlah kata St. Bernadus. Kerendahan hati hendaknya dimiliki oleh para pengikut St. Fransiskus Asissi. Inilah kesadaran yang kami temukan dan terus ingin kami hidupi. Fransiskus mengajarkan kepada para pengikutnya untuk memiliki kesadaran diri sebagai yang kecil dan dina.
Tentang Damai, dalam wasiat 23 Bapa Fransiskus memberikan insight yang meneguhkan kami untuk senantiasa hidup dalam damai, “Tuhan mewahyukan kepadaku salam yang hendaknya kita ucapkan, yaitu: Semoga Tuhan memberi engkau damai.”
Tema ketiga mengenai bersyukur dalam pandangan dan pengalaman Fransiskus adalah; Syukur karena Allah sendiri, Syukur karena Tuhan telah menciptakan dan menebus manusia, syukur karena Yesus Kristus, Putra Allah akan datang lagi dalam semarak keagungan-Nya. dalam tema-tema itu kami diajak oleh Romo Oki untuk semakin mendalami semangat rohani yang diwariskan oleh. St. Fransiskus Asissi.

Kami menyimpulkan seluruh proses dalam bentuk simbol diri. Simbol diri ini memberikan gambaran perjalanan panggilan kami, dimana kami dibentuk oleh Allah. Allah telah merenda dalam sepanjang sejarah hidup kami dan menjadikan segalanya indah pada waktunya. Sr. Carolisa memilih simbol kupu-kupu. Beliau mengalami bahwa Allah telah mengaruniakan begitu banyak rahmat dan panggilan sebagai karunia gratis. Maka Sr Carolisa ingin mempersembahkan dan menyerahkan hidup seutuhnya kepada Allah secara Cuma-Cuma, sebagaimana kupu-kupu yang kehadirannya menjadi berkat yang indah dalam kehidupan bagi sesama.
Sr. Filicia memilih simbol jam, yang menggambarkan bahwa dalam segala waktu Allah senantiasa hadir menyertai, merenda hidupnya sehingga menjadi indah dan yang ada adalah sukacita hidup.
Sr Theresitho memilih simbol Tangga; untuk mencapai tempat tinggi ataupun turun ke tempat yang rendah umumnya perlu tangga sebagai penghubung. Penghubung itu adalah sebuah perjuangan yang membutuhkan proses. Dalam sebuah proses yang sangat dibutuhkan adalah kerendahan hati, kegigihan dan rasa syukur serta penyerahan diri yang penuh pada kehendak Allah. jika hal-hal tersebut dimiliki maka saat menuruni tangga hati kita tidak merasa berat. Dari berbaliknya saat mendaki sebuah ketinggian tak juga berkeluh kesah, namun bersyukur.
Sr. Victorina memilih simbol daun; warna hijau daun menyimbolkan kesejukan. Sr Victor menemukan rasa syukur atas semua berkat Tuhan yang telah diterima. Kesejukan yang juga melangkan rasa damai dalam kasih Tuhan.
Sr. Egidia memilih simbol air terjun. Bertolak dari permenungan 2 Kor 9 :15. Air simbol kesegaran dan limah kasih Tuhan atas karunia-Nya yang tak terkatakan. Di dalamnya ada sukacita.
Sr. Silvestra menemukan simbol Pohon Buncis; dalam permenungan ia menemukan kesetiaan yang selalu bersamanya. Tuhan telah memilihnya dan mengundangnya untuk tinggal dalam kasih-Nya.
Sr Isedora memilih simbol Ilalang dan gandum. Ilalang dan gandum tumbuh berdampingan. tidak ada yang perlu dicabut, tapi harus tetap menumbuhkan kebaikan, supaya iman tetap kuat dan setia. Gandum mengibaratkan hal-hal yang positif yang bertumbuh sehingga ilalang tidak akan merongrong atau mematikan kita kebaikan yang terus dipelihara.

Sr. Yulisa memilih simbol sandal jepit; sandal selalu tempatnya berada di bawah, dipakai alas. Harapannya dalam hidup selanjutnya ingin membarui diriterus-menerus untuk sungguh menghidupi semangat hamba dalam kerendahan hati sebagai Suster FCh dan siap sedia dalam tugas perutusan.
Sr Albertin memilih simbol cincin. Hal ini mengingatkannya saat peristiwa perayaan kaul kekal “Terimalah cincin ini, mulai saat ini kamu menjadi mempelai Kristus, jagalah kesetiaan iman bersama Kristus. Dengan demikian semoga kamu nantinya memasuki pernikahan surga penuh sukacita”. Gambaran suatu cinta yang kekal abadi untuk hidup dipersembahkan bagi Allah saja. Dalam keheningan kesetiaan dalam doa, pertobatan terus menerus yang dilandasi sikap kerendahan hati menuju kekudusan. Itulah yang menjadi harapan Sr Albertin.
Sr Beatrix memilih simbol ‘Tanah liat di tangan penjunan’. Ia menemukan diri merupakan salah satu karya Allah yanng sedang dibentuk-Nya. Tidak akan mengejutkan baginya bila suatu hari nanti ia menemukan ukiran tanda tangan Pencipta yang amat mengasihinya tertulis dalam bejana tanah liat itu, “Jila seseorang menyucikan dirinya dari hal-hal yang jahat, ia akan menjadi perabot rumah untuk maksud yang mulia, ia dikuduskan, dipandang layak untuk dipakai tuannya dan disediakan untuk setiap pekerjaan yang mulia” (2 Tim 2:21).
Itulah intisari dari seluruh proses dalam hari-hari penyegaran rohani. hanya rasa syukur yang dapat kami harutkan kepada Tuhan atas segala limpah kasih-Nya atas panggilan hidup kami sebagai suster FCh. semoga kami dapat semakin membaktikan hidup kami bagi Allah, Gereja, dan sesama dengan penuh sukacita dalam pemberian diri yang utuh.
Ditulis oleh: Sr. M. Yulisa FCh dan Sr. M. Isedora FCh
Tinggalkan Balasan